
1. Pelecehan emosional atau pelecehan psikologis
Mencakup perilaku verbal dan atau nonverbal seperti pemanggilan nama, penghinaan, ancaman, tuduhan, kritik, keluhan, penghinaan, yang mengancam untuk pergi atau melukai diri sendiri, dan menguntit.
2. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik meliputi mencubit, memukul, menendang, mendorong, menampar atau pengekangan fisik.
​
3. Pelecehan/kekerasan seksual
Pelecehan atau kekerasan seksual termasuk mencoba atau memaksakan aktivitas seksual ketika pasangan tidak menyetujui atau tidak dapat melakukannya, kontak seksual kasar dan pelecehan seksual secara verbal.
Dampak Kekerasan dalam Berpacaran
Dating Violence / Kekerasan dalam Berpacaran
Pengertian Kekerasan dalam Berpacaran
Kekerasan dalam berpacaran adalah tindakan emosional, psikologis, fisik, dan atau seksual yang bersifat kasar. Perilaku kasar ini dapat digunakan dengan atau tanpa niat atau pengertian, dalam hubungan berpacaran yang melibatkan setidaknya satu remaja. Kekerasan dalam berpacaran dapat terjadi sebagai satu kejadian diskrit atau hadir sebagai pola perilaku yang terjadi selama hubungan berlangsung.
Kekerasan dalam berpacaran memiliki dampak yang negatif terhadap individu, seperti :
​
-
Efek psikologis, meliputi kemarahan yang meningkat, rendahnya harga diri, kecemasan, seringnya mengalami keluhan bagian tubuh yang tidak jelas (misalnya sakit kepala), insomnia, depresi, gangguan panik, gangguan stres pascatrauma, gangguan makan, dan peningkatan risiko ketergantungan atau penyalahgunaan zat. Baik pelaku maupun korban beresiko mengalami peningkatan dalam pemikiran dan usaha bunuh diri. Anak laki-laki dan perempuan keduanya mungkin mengalami efek psikologis ini. Namun, anak perempuan lebih cenderung mengalami trauma emosional parah akibat viktimisasi dalam situasi berkencan.
-
Efek pada relasi korban, pelaku bisa menyulitkan korban untuk berinteraksi dengan teman atau keluarga. Korban mungkin berhenti berbicara atau tertutup terhadap orang tua dan teman. Hubungan disekolah, korban dapat menarik diri dari kegiatan sekolah atau menunjukkan permusuhan.
-
Efek pada hubungan pelaku. Pelaku mungkin menjadi semakin gelisah terhadap orang tua, saudara, dan teman. Remaja ini mungkin memiliki ledakan kemarahan yang tiba-tiba dan mungkin akan menyalahkan orang lain atas perasaan atau tindakan mereka, yang menyebabkan gangguan dalam hubungan mereka.
-
Efek fisik, tergantung dari jenis kekerasan yang dilakukan. Cidera yang disebabkan oleh kekerasan fisik dapat berkisar dari memar ringan hingga kematian. Dalam kasus kekerasan seksual, infeksi menular seksual dan kehamilan berpotensi terjadi.
Perbedaan kekerasan pada remaja dengan kekerasan pasangan intim orang dewasa
Pertama, remaja berada dalam periode perkembangan transisi yang kritis. Mereka mengalami banyak perubahan secara fisiologis, kognitif, emosional, dan sosial sementara pada saat bersamaan mereka belum berpengalaman dalam melakukan pengambilan keputusan yang kompleks. Ini mungkin menjadi alasan mengapa remaja lebih mungkin memiliki hubungan yang mudah berubah dibandingkan dewasa.
​
Kedua, kekerasan berpacaran pada remaja lebih cenderung dua arah (terlepas dari jenis kelamin pasangannya) berarti bahwa dalam hubungan remaja (baik heteroseksual maupun jenis kelamin yang sama), kedua pasangan dapat menggunakan kekerasan dan terus berlanjut hingga akhir penerimaan kekerasan dalam hubungan.
​
Ketiga, anak laki-laki dan perempuan sama-sama merupakan korban sekaligus agresor dalam kekerasan berkencan remaja. Oleh karena itu, penting untuk mengenali bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan dapat dilibatkan dalam kekerasan berpacaran remaja dengan cara yang mungkin tidak sesuai Stereotip masyarakat.
Pengaruh terhadap Kekerasan Berpacaran pada Remaja
1. Pengaruh sosial dan budaya
Penting untuk diketahui bahwa hubungan yang kasar atau kekerasan berpacaran dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sosial. Misalnya, peran gender yang secara signifikan mempengaruhi hubungan pacaran dalam beberapa hal yang relevan dengan kekerasan berpacaran. Peran gender adalah ekspresi sikap dan harapan berdasarkan jenis kelamin seseorang yang dibangun oleh budaya di mana individu tinggal. Peran gender mungkin termasuk gagasan stereotip tentang bagaimana wanita atau pria harus melihat atau bagaimana seorang wanita atau pria harus bertindak.
Ekspektasi peran gender dapat mempengaruhi cara remaja dan orang dewasa memandang kekerasan dalam sebuah hubungan. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh anak perempuan mungkin lebih cenderung dimaafkan sementara agresi psikologis yang digunakan oleh anak laki-laki dapat dilihat sebagai tindakan baik hati, mendukung gagasan bahwa perilaku pengendalian laki-laki diperhatikan, atau bahwa cinta sejati melibatkan perilaku pengendalian.
​
2. Pengaruh Komunitas
Keterpaparan terhadap jenis kekerasan selama masa kanak-kanak atau remaja merupakan faktor yang beresiko kuat untuk melakukan kekerasan terhadap remaja yang mungkin merupakan alasan mengapa tingkat kekerasan masyarakat yang tinggi merupakan prediktor kuat terjadinya kekerasan selanjutnya dalam hubungan.
​
3. Pengaruh Teman Sebaya
Menghabiskan waktu dengan teman sebaya yang memandang kekerasan berpacaran terhadap remaja bisa diterima atau yang menggunakan kekerasan dalam hubungan mereka sendiri meningkatkan risiko viktimisasi dan tindak kekerasan berkencan untuk remaja lainnya.
4. Pengaruh Keluarga
Terdapat dua faktor yang terjadi dalam konteks keluarga yang nampaknya meningkatkan risiko terjadinya kekerasan seksual remaja maupun viktimisasi. Faktor pertama adalah interaksi keluarga yang ditandai dengan konflik atau kekerasan. . Faktor kedua adalah perilaku orang tua yang lalai, termasuk tingkat pengawasan orang tua yang rendah.
​
5. Pengaruh Perkembangan
Remaja berada dalam tahap perkembangan yang unik saat mereka mulai berkencan. Misalnya, sering dianggap penting secara sosial bagi remaja untuk memiliki hubungan kencan, yang mungkin membuat si remaja rentan tinggal dalam situasi yang tidak sehat untuk modal sosial. Selain itu, remaja belum memiliki banyak pengalaman hubungan. Mereka mungkin belum siap menghadapi situasi yang membutuhkan keterampilan resolusi konflik yang baik.
​
6. Pengaruh Individu
Sikap toleran terhadap kekerasan. Remaja yang memiliki keyakinan bahwa kekerasan tidak menimbulkan konsekuensi negatif lebih cenderung melakukan kekerasan berpacaran. Remaja yang memiliki kemampuan interpersonal yang buruk, orang yang memiliki masalah dalam mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau yang kurang berempati memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan kekerasan juga.
7. Faktor Pelindung
Terdapat beberapa faktor yang secara signifikan mengurangi risiko. Misalnya, memiliki ikatan yang kuat dengan orang tua dan hubungan positif yang kuat dengan masyarakat adalah faktor pelindung. Keterampilan yang dapat membantu remaja menghindari kekerasan berkepadanan termasuk negosiasi konflik dan regulasi emosi.
Karakteristik Kekerasan dalam Berpacaran