Kajian Kriminologis Mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Relasi Pacaran Heteroseksual
Konsep serta praktek budaya yang banyak berlaku di masyarakat sejak zaman dulu sering menempatkan perempuan sebagai manusia yang tidak sederajat dan tidak sejajar posisinya dengan laki-laki. Bahkan seringkali perempuan diperlakukan sebagai sesuatu (bukan manusia) sehingga tidak mempunyai harga diri, martabat ataupun hak. Hal ini kemudian memunculkan banyak kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan yang sampai saat ini tetap terjadi.
Sesuai dengan Pasal 1 Deklarasi PBB tahun 1993 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan disebutkan bahwa definisi kekerasan terhadap perempuan, adalah: "Setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau termasuk psikologis, ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan Secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi".
​
Dari berbagai macam bentuk kekerasan yang menimpa perempuan, bentuk yang paling umum dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni kekerasan fisik, psikologis, dan seksual. Catatan Tahunan Komnas Perempuan setiap tahun mengumpulkan laporan data dari berbagai elemen mitra seperti organisasi masyarakat, lembaga penegak hukum dan rumah sakit yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 2007 tercatat 25.522 kasus kekerasan terhadap perempuan dari 215 lembaga-lembaga mitra di 32 propinsi. Sedangkan data kasus kekerasan yang ditangani Jaringan Relawan Independen periode April 2002-Juni 2007, yakni, dari 263 kasus kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (sekitar 242 orang).
Kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat ini tidak hanya terjadi di dalam rumah tangga, namun juga dalam hubungan lain diluar pernikahan, seperti pacaran heteroseksual. Sayangnya kekerasan yang terjadi pada relasi pacaran heteroseksual seakan-akan ditutupi keberadaannya.
Idealnya, dalam suatu relasi pacaran antara laki-laki dan perempuan terjalin suatu hubungan yang saling menghargai, saling mengasihi, saling menerima, dan saling mendukung satu sama lain. Ternyata kekerasan juga dialami oleh perempuan dari pasangannya. Ironisnya seringkali perempuan menerima kekerasan yang mereka alami dan menganggap kekerasan tersebut sebagai hal yang biasa, malah ada juga yang menganggapnya sebagai suatu hal yang romantis, wajar, dan merupakan "bumbu percintaan".
Dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan pada umumnya, terdapat satu ciri khas dimana seorang pelaku tindakan kekerasan tersebut selalu merasa dirinya sebagai lebih kuat dan korbannya sebagai lebih lemah. Hal ini kemudian menimbulkan suatu pemikiran bahwa dalam suatu tindakan kekerasan terhadap perempuan terdapat kontribusi dari suatu mekanisme sosial yang menyebabkan seorang perempuan berada dalam posisi subordinasi dari laki-laki.
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
Ironisnya tindak kekerasan terhadap perempuan sering tidak dapat dijerat tindak pidana. Di Indonesia sendiri kita dapat melihat bagaimana negara dapat mengintervensi begitu jauh urusan pribadi perempuan. Jelas kondisi ini memperlihatkan bahwa hukum sesungguhnya tidak netral dan tidak objektif karena telah menetapkan dan menerapkan standar ganda bagi mereka yang memiliki kekuasaan (laki- laki) dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan (perempuan).
Konsep kekerasan dalam pacaran pada penelitian ini adalah "Kekerasan dalam pacaran merupakan sebuah kekerasan yang terjadi dalam relasi intim atas dasar perasaan cinta atau suka di luar hubungan pernikahan. Didalamnya terjadi sikap atau tindakan pemaksaan, penyerangan, perusakan, pengendalian dan ancaman baik secara psikis, fisik, seksual, maupun ekonomi, ataupun kombinasi keempatnya yang dapat menimbulkan dampak negatif, seperti menyakiti, melukai atau menurunkan derajat korban. Kekerasan ini dapat terjadi selama masa pacaran atau di dalam proses berakhirnya masa pacaran."
Tulisan ini akan mengangkat kasus kekerasan yang dialami 3 perempuan sebagai subyek, sebut saja, "Gadis" "Dara", dan "Putri". Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bagaimana realitas kekerasan yang terjadi pada ketiga subyek, pemaknaan dan juga respon korban, serta dampak kekerasan tersebut bagi ketiganya.
​
Subyek Dara adalah seorang perempuan beretnis Sunda, dengan usia 19 tahun. Dara mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi, maupun seksual. Ia mengalami kekerasan tersebut dalam hubungan dengan ketiga pacarnya, yaitu Arlo, Leo, dan Rizky. Sementara itu subyek kedua, Gadis, mengalami kekerasan psikis bersama mantan pacarnya Tio, selama tiga tahun hubungan pacaran mereka. Kekerasan psikis ini lebih kepada bagaimana Tio mengontrol dan mendikte semua sikap dan perbuatan Gadis. Pengalaman kekerasan subyek ketiga, Putri, dari mantan pacarnya Aldo. Pengalaman kekerasan yang dialami Putri, berupa tindakan menyakiti fisik seperti pencengkeraman dan pemelintiran tangan.
​
Millett mengatakan akar opresi yang terjadi terhadap perempuan adalah akibat dari sistem seks gender yang lahir dari ideologi patriarki. Patriaki sendiri, seperti yang dikatakan Hartmann secara hierarki membuat dan memungkinkan laki-laki untuk mendominasi perempuan. Kekerasan yang dialami para subyek dalam hal ini jelas adalah karena ketimpangan kekuasan dan ketidaksetaraan antara posisi mereka dengan pasangannya di dalam hubungan tersebut. Pelaku, dalam hal ini adalah pasangan laki-laki menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mengontrol dan mengekang subyek.
Dominasi atas tubuh perempuan pun dapat kita lihat dalam kasus ini. Bagaimana pasangan mereka masing-masing merasa memiliki para subyek. Ini diperlihatkan dengan sikap pasangan yang merasa berhak mengontrol dengan cara kekerasan apabila para subyek tidak menuruti perintah dan keinginan pasangan mereka masing-masing. Dominasi ini disebut juga dengan "kepemilikan" atau yang disebut dengan owner-property atau pemilik-barang milik (Scanzoni dan John Scanzoni, 1981, h.203).
Mengacu pendapat Carole Pateman, kita bisa mengatakan bahwa terjadinya subordinasi perempuan di dalam masyarakat berasal dari adanya hak istimewa yang dimiliki laki-laki, yakni hak yang tertanam kuat dalam sistem patriarki dalam mengintervensi tubuh perempuan (Curie dan Raoul, 1992). Nilai atau hak istimewa (privilege) laki-laki yang selama ini disosialisasikan oleh kelompok laki-laki dan diinternalisasikan ke lingkungan yang lebih luas, yakni publik. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya anggapan di dalam masyarakat patriaki, bahwa perempuan dianggap milik laki-laki. Dan ternyata pendapat ini pun tidak hanya berlaku untuk istri yang dianggap merupakan milik suami atau anak perempuan yang merupakan milik sang ayah, tapi juga berlaku pada perempuan yang merupakan milik pasangan laki-lakinya (pacar).
​
​
Pemaknaan dan Respon Subyek
Mengutip pernyataan Marie Richmond Abott, pengaruh terbesar terhadap seksualitas seseorang berasal dari peran gender yang ditentukan. Secara sosial, seperti adanya norma-norma sosial dan nilai-nilai tentang apa yang pantas dan tidak pantas tentang perilaku seksual seseorang dan adanya nilai sosial budaya yang menentukan atau membentuk anggapan tentang kekuasaan tanggung jawab, serta perilaku laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, status dan peran laki-laki memberikan kesempatan yang lebih besar kepadanya untuk berbuat sesuatu, termasuk untuk menganiaya pacarnya sendiri.
​
Walaupun hanya hubungan pacaran, yang tidak memiliki status "legal", tetapi karena anggapan yang telah terbentuk sejak lama bahwa perempuan berkewajiban untuk melayani, untuk menyenangkan pasangannya, dan rela berkorban demi orang yang dicintainya maka perempuan-perempuan ini pun memaknainya demikian.
​
Pemaknaan para subyek sendiri dalam memaknai dan merespons kekerasan yang mereka alami agak berbeda. Ini disebabkan karena mereka mengalami kekerasan dengan pengalaman yang berbeda-beda, di saat, dan lingkungan yang berbeda pula. Pandangan Dara mengenai kekerasan yang ia alami cukup berbeda dari pandangan umum. Dan bentuk kekerasan yang paling berat dirasakan, menurutnya adalah kekerasan psikis. Menurut Dara kekerasan psikis membuatnya tertekan, dan itulah definisi kekerasan menurutnya.
​
Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa hal yang sama-sama dimaknai oleh subyek bahwa peran dan status laki-laki dan perempuan yang telah diatur oleh konstruksi patriarki membuat mereka memiliki pandangan yang sama dalam memahami status dan peran mereka dan akhirnya mereka merespons dengan cara yang kurang lebih sama ketika mereka mengalami kekerasan di dalam hubungan pacaran mereka. Mereka bertiga pun juga menganggap bahwa hal tersebut wajar, karena nilai-nilai yang mereka anut bahwa perempuan merupakan pihak yang harus selalu patuh, menurut, dan selalu menyenangkan pasangannya. Oleh karena itu, ketiganya pun berusaha melakukan hal-hal yang diharapkan dari pasangannya tersebut.
Berdasarkan temuan dan analisis data, ketiga subyek terlihat seakan-akan merespon kekerasan tersebut dengan menerimanya, adalah hal-hal sebagai berikut: (1) Perasaan sayang dan takut kehilangan, (2) Pemahaman bahwa wajar apabila laki-laki memiliki sifat yang kasar dan keras terhadap mereka, (3) Pemahaman tentang status dan peran laki-laki dan perempuan di dalam pasangan, bahwa sudah sepantasnya perempuan menyenangkan pasangan laki-lakinya, (4) Berharap bahwa hubungan mereka kembali berjalan dengan baik dan pasangannya akan berubah pada akhirnya; (5) Mereka berhasil dimanipulatif dan dibuat seakan-akan sebagai pihak yang bertanggung jawab bahwa kekerasan yang menimpa diri mereka adalah karena kesalahan mereka sendiri; (6) Mereka tidak menyadari bahwa mereka bisa mendapatkan pertolongan.
Dampak kekerasan yang dirasakan ketiga subyek berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan kekerasan yang mereka alami berbeda-beda pula. Secara keseluruhan segala bentuk kekerasan tersebut memang berdampak pada kondisi fisik dan psikis/emosional korban. Serangan-serangan tersebut akan menimbulkan rasa sakit fisik dan ketidakberdayaan psikis pada diri korban. Hal ini merupakan hasil dari terpengaruhinya perspektif dan kontrol yang dimiliki korban (Kirkwood 1993:44).
​
Sumber: Guamarawati, N. A. (2009). Suatu kajian kriminologis mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam relasi pacaran heteroseksual. Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol 5 (1), 43-55.
